Karena cukup lama berdiri menunggu kedatangan pesawat Citilink di Terminal 2 Bandara Soetta, akhirnya saya menumpang duduk di kursi calon penumpang taksi. Sekitar satu jam saya duduk menghadap barisan taksi, ada taksi
Diamond, Eagle, Gading, Borobudur, Express dan si biru Blue Bird..
Saya perhatikan barisan taxi non blue bird seperti mandeg, sedikit sekali bergeser antriannya. Sementara Blue Bird sudah terus bergerak dan berganti mobilnya yang antri. Saya lihat di mesin antrian jumlah taxi Blue Bird yang jalan sudah 6 kali lipat jumlah non BlueBird. Semakin lama terlihat terus bertambah ketimpangannya.
Tetapi calon penumpang terus saja memilih Blue Bird, meskipun nomor antrian semakin panjang. Saya mulai merasa kasihan melihat ketidak adilan ini. Supir taxi non blue bird hanya berdiri melihat penumpang yang naik Blue Bird.
Saya perhatikan barisan taxi non blue bird seperti mandeg, sedikit sekali bergeser antriannya. Sementara Blue Bird sudah terus bergerak dan berganti mobilnya yang antri. Saya lihat di mesin antrian jumlah taxi Blue Bird yang jalan sudah 6 kali lipat jumlah non BlueBird. Semakin lama terlihat terus bertambah ketimpangannya.
Tetapi calon penumpang terus saja memilih Blue Bird, meskipun nomor antrian semakin panjang. Saya mulai merasa kasihan melihat ketidak adilan ini. Supir taxi non blue bird hanya berdiri melihat penumpang yang naik Blue Bird.
Namun kondisi ini terjadi bukan karena soal beda rezeki dan keadilan, tapi terbentuk dari akumulasi pengalaman dan juga informasi yang didapatkan oleh konsumen.
Taxi adalah alat transportasi, namun blue bird adalah kepercayaan. Jasa memang tidak dapat disentuh (untouchable) namun dapat dirasakan dan akan membekas jauh di dalam hati. Sekali layanan yang diterima pelanggan tidak sesuai dengan yang diharapkan (perceived value), timbul gap yang menghasilkan rasa kecewa.
Berita positif dan negatif akan sangat mudah tersebar, tidak hanya secara lisan, namun melalui berbagai media sosial dan sebagian menjadi viral. Informasi tersebut kemudian membentuk persepsi dan menjadi referensi bagi calon pelanggan sebelum memutuskan pembelian.
Taxi adalah alat transportasi, namun blue bird adalah kepercayaan. Jasa memang tidak dapat disentuh (untouchable) namun dapat dirasakan dan akan membekas jauh di dalam hati. Sekali layanan yang diterima pelanggan tidak sesuai dengan yang diharapkan (perceived value), timbul gap yang menghasilkan rasa kecewa.
Berita positif dan negatif akan sangat mudah tersebar, tidak hanya secara lisan, namun melalui berbagai media sosial dan sebagian menjadi viral. Informasi tersebut kemudian membentuk persepsi dan menjadi referensi bagi calon pelanggan sebelum memutuskan pembelian.
Tulisan di media sosial mengenai driver taxi yang membawa mobil dengan ngebut, driver yang bersikap kasar, membawa mobilnya secara ugal-ugalan, atau juga Taxi online yang meminta tambahan kepada penumpangnya dari bandara setelah mobil berjalan, semuanya membentuk persepsi buruk terhadap brand taxi dan
ini tidak terjadi di taxi blue bird.
Berita mengenai taxi yang bersih, driver yang sopan dan driver yang mengembalikan barang penumpang yang ketinggalan, semuanya membentuk persepsi positif atas Blue Bird ini. Karena itu konsumen memilih tetap lebih lama antri untuk naik Blue Bird daripada taxi lainnya.
Membentuk budaya organisasi yang mendorong perilaku service excellent bagi person yang langsung terlibat dalam transaksi dan menghadapi pelanggannya, menjadi kunci sukses Blue Bird.
Membentuk budaya organisasi yang mendorong perilaku service excellent bagi person yang langsung terlibat dalam transaksi dan menghadapi pelanggannya, menjadi kunci sukses Blue Bird.
Komentar
Posting Komentar