Langsung ke konten utama

Green Boots, Manajemen Risiko

Hidup adalah pilihan

Ada kisah mengenai para pendaki mount Everest, dalam jalur pendakian mereka akan melihat ratusan tubuh jenazah tergeletak di jalur pendakian, rasio kematian dalam pendakian ini mencapai 4%, namun orang tetap melakukan pendakian meskipun dianggap sangat berbahaya.  

Salah satu yang paling terkenal adalah jenazah pendaki yang yang dijuluki “green boots”. Digelari demikian karena jenazah ini menggunakan sepatu berwarna hijau. Kaki jenazah ini masih menjulur di jalur pendakian pada ketinggian 8500 meter, sehingga pendaki lainnya harus melangkahi kakinya dan ini menjadi penanda jarak ke puncak Everest.



Diyakini jenazah ini bernama Tsewang Paljor, dia anggota pendaki dari kepolisian India yang meninggal pada tahun 1996. Tsewang pada saat meninggal berusia 28 tahun dan bertugas sebagai polisi perbatasan India-Tibet. 

Tsewang terpilih sebagai salah seorang dari empat anggota team pendaki Everest kepolisian India. Laki laki yang disebut temannya orang berwajah tampan, dengan kumis tipis melintang, murah senyum dan juga baik ke semua orang. Dia  bercita cita akan melakukan sesuatu hal yang besar dalam hidupnya, hingga akhirnya impian tersebut hampir tercapai, tsewang akan menaklukan Everest.

Pada saat tidak jauh dari puncak bukit Everest, terjadi peringatan bahwa akan terjadi badai yang membahayakan bagi pendaki. satu orang dari team pendaki memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan ke puncak dan kembali ke kamp. Mereka menganggap situasi tidak memungkinkan untuk terus ke puncak, risiko yang diambil terlalu tinggi bagi keselamatan.

Namun tsewang beserta dua orang lainnya meneruskan perjalanan, karena puncak Everest terlihat sudah dekat dan sayang kalau harus mundur. Kondisi psikologis yang sering dialami oleh pendaki, yang terlalu percaya diri dan kurang memperhatikan bahasa tubuh atau kondisi alam.

Tsewang dan dua orang temannya berhasil mencapai puncaknya, namun mereka tidak pernah kembali ke kamp. Dua tubuh pendaki lainnya tidak pernah ditemukan, sementara tubuh tsewang tergeletak di jalur pendakian dengan ‘green boots’-nya.

Tsewang meninggal karena keberaniannya mengambil risiko yang dianggapnya dapat diterima untuk mencapai cita cita-nya, menjadi penakluk Everest. Sementara satu orang anggota team dan group pendaki lainnya memutuskan kembali, selamat dari musibah tetapi tidak pernah tercatat mencapai puncak Everest.

Hidup adalah pilihan, kira kira risiko mana yang akan kita pilih ?




Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemeriksaan kas sekonyong konyong

Disaat masih menjadi pemeriksa muda di Inspektorat Wilayah Medan aku seperti biasa melakukan berbagai kunjungan pemeriksaan ke berbagai kantor cabang Pegadaian. Hari ini pemeriksaan di kantor cabang Pegadaian takengon selesai dilaksanakan, siang ini aku dan pak Sudrajat sebagai ketua team akan segera kembali ke Medan.  Ketua team ini orang sunda yang sangat baik dan seperti orang sunda lainnya, senang guyon, sehingga perjalanan jauh dari Medan ke Aceh yang ditempuh selama belasan jam ini tidak terasa membosankan. Tapi seperti orang sunda yang susah melafalkan beberapa huruf, begitu juga boss satu ini, salah satu yang paling aku ingat adalah kegagalannya mengucapkan kata “eksekutif”, beliau selalu mengucapkannya sebagai sekutip.   Karena sudah jadwalnya kembali ke Medan, Hati ini riang gembira serasa berteriak “hore.. hore, akhirnya tiba waktunya I’am coming home”. Tidak seperti sekarang dimana sewaktu waktu dapat video call dengan anak isteri, tahun 90-an ini kalau kangen sama keluarga

Arisan Emas Pegadaian.

Ingin berinvestasi emas ? kunjungi outlet outlet Pegadaian, sekarang investasi emas dapat dilakukan dengan berbagai cara, dapat dibeli secara tunai di outlet Galeri 24 Pegadaian, dapat juga dengan cara arisan.

jalur sungai Banjarmasin to Palangkaraya

Jalur Sungai Banjarmasin – Palangkaraya. Kantor cabang Pegadaian di Palangkaraya pada tahun 1999 merupakan satu-satunya kantor cabang Pegadaian yang terletak di kota Palangkaraya, ibukota Propinsi Kalimantan Tengah.   Pegadaian di Palangkaraya kurang bagus perkembangannya karena setelah beberapa tahun berdiri masih juga berstatus cabang kelas III, klasifikasi cabang terendah pada masa itu. Dibandingkan Pegadaian di wilayah Kalimantan Timur sangat jauh tertinggal, Pegadaian di wilayah Balikpapan telah tumbuh pesat.  Pada tahun 1998-2000 apabila kita ingin ke   kota Palangkaraya dari Banjarmasin salah satu alternative yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan sarana transportasi berupa speed boat . Setelah pengalaman buruk saya menggunakan angkutan darat maka saya lebih memilih selalu menggunakan angkutan sungai meskipun sebenarnya saya takut karena tidak bisa berenang sama sekali. Transportasi sungai Banjarmasin ke Palangkaraya ini akan melalui sungai-sungai Kuala Kapuas,