Introspeksi
Di suatu sudut kampung, Negeri Antah Berantah, hidup sepasang suami-istri. Hidupnya melarat, tapi rajin beribadah. Kehidupannya hanya disandarkan pada pekerjaan membuat gula aren (gula merah). Mereka berdua berjibaku tiap hari membuat gula merah. Sang suami memanjat batang aren, sang istri bertugas memasak tuak aren yang menjadi cikal-bakal gula merah.
Suatu hari, lelaki miskin itu menjual gula merah yang dibuat istrinya ke kota. Gula merahnya ditawarkan kepada orang-orang di pasar. Banyak orang tertarik membeli karena bentuknya unik.
Istrinya selalu membuat gula merah dengan bentuk khas. Bentuknya bulat mirip bola tennis dan beratnya 1 kg disukai banyak orang.
Salah satu pelanggannya berada di samping pasar. Kebetulan juga pelanggannya itu menjual sembako. Jadi setiap menerima uang hasil penjualan gula merah dari pelanggannya yang kaya itu, ia membeli kebutuhan harian mereka untuk sekadar makan.
Suatu ketika, pemilik toko itu curiga dengan berat gula merah itu dan dia pun menimbangnya. Ternyata beratnya tidak sampai 1 kg, hanya 900 gr. Tangannya gemetar dan dadanya terasa seperti ingin meledak.
“Jadi selama ini dia membohongiku. Berapa banyak kerugian yang aku alami. Dasar Penipu..!!!” teriaknya dalam hati.
Suatu hari, orang kaya itu mendatangi lelaki miskin di rumahnya dengan membawa gula merahnya.
“Kamu telah menipu saya! Kamu mengakui bahwa gula merah ini beratnya 1 kg, ternyata setelah kutimbang baik-baik, beratnya ternyata hanya 900 gr saja!” teriak pemilik toko.
“Kamu dasar celaka, sudah miskin, tak tahu diri, penipu lagi!”
Lelaki miskin itu menundukkan kepalanya dan berkata, “Kami orang miskin, Tuan. Kami tidak punya timbangan di rumah. Kami tak mampu membeli timbangan. Namun karena kami selalu membeli beras di toko Tuan seberat 1 kg dan itulah yang kami jadikan patokan timbangan untuk menimbang gula merah”.
Seketika wajah si pemilik toko jadi merah karena malu, semerah gula merah yang dia persoalkan.
Komentar
Posting Komentar