Langsung ke konten utama

Pemeriksaan Hitungan Sekonyong Konyong

Hari ini, perjalanan saya berlanjut ke Palangkaraya. Meskipun kota ini merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, di tahun 1999 ini, Pegadaian hanya memiliki satu kantor cabang di sana—itu pun hanya cabang kelas III. Perkembangan Pegadaian di Kalimantan Tengah masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah Kalimantan Timur yang sudah tumbuh pesat.

Badan saya masih terasa lelah, baru saja menyelesaikan pemeriksaan di cabang Martapura, dan sebelumnya sudah lebih dari seminggu berkutat di Banjarmasin. Namun, tugas tetaplah tugas. Tidak ada ruang untuk mengeluh.

"Ayo, Pak, kita ke pelabuhan speed supaya tidak terlalu siang sampai di Palangka," ajak Pak Mustafa, rekan satu tim saya. Dia adalah putra asli Banjar, yang sudah paham betul daerah ini.

"Sip, Pak Mus! Tetap semangat. Saya juga sudah tidak sabar untuk mengarungi Sungai Kapuas," jawab saya sambil tersenyum.

Kami tiba di tepi Sungai Kapuas sekitar jam 6 pagi, lokasi yang disebut pelabuhan ini lebih mirip dermaga sederhana, bahkan bisa dibilang setengah liar. Jangan bayangkan ada bangunan besar atau petugas berseragam di sini. Hanya ada beberapa tangga kayu tua yang menuntun para penumpang ke speed boat, tanpa ada peraturan yang jelas. Orang disini menyebut perahu Panjang ini sebagai speedboat, bagiku ini cocoknya disebut longboat.

"Tunggu di sini, Pak, saya beli karcis dulu," kata Pak Mustafa. 

"Iya, saya tunggu di warung ini saja, sekalian cari minuman dingin."

Aku duduk di warung pinggir sungai, meneguk Coca-Cola dingin yang langsung menyegarkan badan. Kota Banjar ini panas luar biasa, membuat minuman dingin seperti ini jadi penyelamat sesaat.

"Ayo, Pak! Ini karcisnya, kita langsung naik speed-nya," Pak Mustafa kembali dengan tiket di tangan. "Sebentar, saya habiskan dulu Coca-Cola ini," balas saya sambil cepat-cepat meneguk sisa minuman.

Setelah merasa segar kembali, saya bangkit sambil mengangkat koper berat menuju tepian sungai. Di sini, beberapa preman lokal mengatur penumpang menaiki boat. Kami harus menuruni tangga kayu yang reyot, menambah tantangan sebelum benar-benar naik ke kapal. Koper saya akhirnya disimpan di bagasi—atau lebih tepatnya, diselipkan di bawah bangku penumpang oleh petugas speed boat.

"Semoga perjalanan ini aman, ya, Pak," ucap saya dengan sedikit kekhawatiran, mengingat cuaca di atas sungai bisa berubah cepat. "Aamin, Insya Allah aman, Pak. Cuaca bagus, tidak ada tanda-tanda hujan," jawab Pak Mustafa, mencoba menenangkan.

Meskipun ini hanya sungai, sebagian alur Sungai Kapuas tampak begitu luas, lebih menyerupai danau raksasa dengan gelombang yang cukup terasa. Kalau hujan turun, perjalanan bisa menjadi berbahaya—penglihatan motoris terhalang derasnya hujan, dan angin kencang bisa mempersulit perjalanan.

Namun, untuk saat ini, saya hanya bisa menikmati perjalanan di atas air yang luas, sambil berharap cuaca tetap bersahabat hingga kami tiba di Palangkaraya.

Perjalanan dinas ini terasa lebih seperti petualangan daripada sekadar tugas biasa. Aku menyusuri sungai-sungai besar Kalimantan, yaitu Sungai Kuala Kapuas, Barito, dan Kahayan, yang saling terhubung oleh kanal-kanal bersejarah. Kanal-kanal ini dibangun oleh seorang insinyur Belanda bernama W. Broers pada tahun 1880-an. Tentu saja, di balik rasa antusias, ada sedikit ketegangan. Bagaimana tidak? Tidak ada satu pun pelampung yang tersedia di longboat ini, sementara aku tidak bisa berenang!

Longboat yang kami tumpangi juga jauh dari bayangan glamor seperti di film-film James Bond. Sebaliknya, ini hanyalah perahu panjang dengan mesin tempel di bagian belakang. Tapi jangan salah, meskipun sederhana, mesinnya sangat bertenaga. Saking kuatnya, bagian depan perahu ini sering terangkat, seolah-olah akan lepas landas dan terbang di atas permukaan air. Sensasi ini, di satu sisi membuat aku terhibur, tetapi di sisi lain membuat hati sedikit berdebar.

Saat perahu melaju di sepanjang sungai-sungai besar di Kalimantan, pemandangan yang menyertai tak hanya berupa alam hijau yang menyejukan mata. Di tepi-tepi sungai, aku melihat rangkaian kayu besar mengapung. 

Kayu hasil penebangan hutan ini, yang panjangnya bisa mencapai beberapa kilometer, tampak seperti rakit raksasa yang hanyut mengikuti arus. Tidak jauh dari sana, berdiri pabrik-pabrik pengolahan kayu, sibuk memproses batang-batang pohon yang telah berusia puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, hanya untuk dipotong-potong menjadi bahan industri.

Ketika melihat kayu-kayu besar itu terapung atau ditumpuk di pinggir sungai, ada perasaan sedih yang mendalam. Pohon-pohon besar yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk tumbuh sebesar itu, begitu saja ditebang demi keuntungan manusia—atau lebih tepatnya, demi keserakahan segelintir orang.

Saat perahu terus melaju, aku hanya bisa merenung. Setiap kayu yang ditebang adalah simbol hilangnya kehidupan dan potensi yang tidak akan pernah kembali. Pohon-pohon yang dulu tegak berdiri di hutan, kini hanya menjadi barang komoditas di tangan mereka yang memandang hutan sekadar sebagai sumber kekayaan, bukan sebagai warisan alam yang harus dilestarikan.

Setelah sekitar empat jam menyusuri sungai, dengan satu kali berhenti untuk mengisi perut dan meluruskan kaki yang kaku karena duduk terlalu lama, akhirnya kami tiba di Palangkaraya. Kota ini dulu sempat digadang-gadang oleh Bung Karno untuk menjadi ibu kota Indonesia.

"Pak Mus, mau mampir dulu ngopi atau langsung ke kantor cabang Palangkaraya?" tanyaku kepada Pak Mustafa yang tampak sedikit loyo. Meskipun ia putra daerah, sepertinya perjalanan naik speedboat tadi tidak begitu ia nikmati.

"Langsung saja, Pak. Biar kita nggak telat masuk kantor cabang," sahut Pak Mustafa sambil tersenyum tipis. Saya tahu alasannya. Kepala Cabang Palangkaraya, Pak Hendri, adalah teman baiknya. Mereka berdua alumni dari universitas yang sama dan juga masuk Pegadaian di waktu yang bersamaan. Bedanya, Pak Mustafa memilih jalur auditor, sementara Pak Hendri meniti karier sebagai Kepala Cabang.

Dengan semangat yang tersisa setelah perjalanan panjang ini, kami melanjutkan langkah menuju kantor cabang. Tugas berikutnya menunggu, namun di balik itu, aku masih bisa merasakan sisa-sisa petualangan yang mendebarkan dan menyenangkan—perjalanan di atas sungai, mesin yang menderu, dan pemandangan alam Kalimantan yang begitu memesona.

Sekitar jam 12 an, kami turun dari angkutan kota pas di depan kantor cabang Palangka Raya, kantor Pegadaian disini masih mengontrak satu bangunan rumah. Letaknya cukup strategis di tengah kota Palangka. Kota ini memang terasa sepi untuk ukuran ibu kota Propinsi, jalanan masih lengang dari kendaraan.

“ selamat siang pak Hendri, apa khabar” sapaku ke Pemimpin Cabang Palangka Raya ini, anak muda dengan badan yang tinggi besar, pernah menjadi atlit judo di PON. 

“siang pak, ayo silahkan duduk dulu pak” sapa pak Hendri, sambil meminta penjaga kantor untuk mengangkat koper ke dalam ruangan. 

Kami sepakat akan langsung memeriksa uang kas dan barang jaminan sebelum kemudian makan siang, agar tidak kehilangan momentum dadakannya. Sifat pemeriksaan di Pegadaian ini selalu sekonyong konyong. Istilah sekonyong konyong ini merupakan istilah sejak era kolonial, kalau sekarang lebih tepat disebut surprise audit. Meskipun usang namun teknik pemeriksaan ini masih efektif untuk diterapkan di Pegadaian.

Setelah beberapa percakapan ringan dan beramah tamah dengan Pak Hendri, kami segera beranjak pada tugas utama yang membawa kami ke sini. Tidak ada waktu yang terbuang percuma. 

Pemeriksaan kas memang tampak sederhana, tapi penting. Pak Mustafa harus mencocokkan setiap lembar uang di kasir dan kas besar dengan catatan di pembukuan, memastikan semuanya sesuai dan tidak ada selisih. Di sisi lain, aku punya tugas menghitung barang jaminan. Barang-barang ini tersebar antara brankas dan Gudang.

"Pak Hendri, izin saya memulai pemeriksaan hitungan barang jaminan di brankas," ucapku, mencoba tetap fokus meskipun rasa lelah mulai menggerogoti.

"Baik, Pak. Saya bukakan brankasnya," sahut Pak Hendri sambil segera mengambil kunci brankas Solingen.

Pemeriksaan di cabang Palangkaraya terasa berbeda hari itu. Bukan hanya karena perut lapar dan tubuh lelah setelah berhari-hari di lapangan, tapi juga karena ada sesuatu yang mengganggu pikiranku saat menghitung emas di dalam brankas. Pak Hendri, Kepala Cabang, terus saja mengajakku mengobrol. Setiap kali aku menghitung, dia mencoba menyelipkan percakapan yang, meski ramah, mulai terasa mengganggu konsentrasiku. Namun, karena rasa sungkan, aku tetap merespons, meski tak bisa lepas dari firasat ada yang tidak beres.

Di antara deretan emas dalam kantong plastik, aku menemukan tiga batang emas yang tampak berbeda. Masing-masing beratnya sekitar 100 gram saat kutimang-timang. “Wah, dapat emas jaminan besar nih, Pak!” tanyaku sambil memperhatikan lebih dekat.

"Oh, ya, Pak. Itu dari seorang pengusaha kayu yang butuh pinjaman cepat. Katanya untuk bayar kayu gelondongan dan gaji pegawai,” jawab Pak Hendri dengan nada yang terdengar gugup. Kegugupannya membuat aku lebih waspada. Emas-emas ini tampak kasar, tidak seperti emas batangan dari pabrikan yang biasanya halus dan memiliki cap dari toko emas.

Aku mulai merasa ada yang janggal. Bentuk emas ini terlalu tidak beraturan, dan tidak ada cap tanggungan yang menunjukkan siapa yang memproduksi emas tersebut. Segera, aku menyisihkan tiga batang emas itu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saat itu, gerak-gerik Pak Hendri mulai mencurigakan. Dia mondar-mandir, keluar masuk ruangan brankas, seolah tidak tenang.

Pemeriksaan hitungan barang jaminan selesai dan hasilnya cocok dengan catatan di buku gudang, atau yang dikenal dengan Contoh 60 di Pegadaian. Meski lega hitungan cocok, instingku tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang salah dengan emas batangan ini.

Tanpa menunggu waktu lama atau makan siang terlebih dahulu, aku segera melakukan uji kimia sederhana. Menggosok emas pada batu uji dan meneteskan air uji di atasnya. Dan benar saja, hasilnya menunjukkan reaksi yang berbeda—barang ini bukan emas.

Rasa curiga semakin kuat. Aku lanjutkan dengan mengiris salah satu batang emas menggunakan cutter dan meneteskan air uji di bagian yang teriris. Gelembung kehijauan muncul, menandakan bahwa emas ini hanyalah emas sepuhan, emas palsu.

Meski sudah yakin, aku tidak berhenti di situ. Pemeriksaan berikutnya adalah uji berat jenis. Untuk emas 24 karat, berat jenisnya seharusnya 19,32. Namun, hasilnya jauh di bawah angka tersebut. Tak diragukan lagi, ini bukan emas sungguhan.

Ketika semua bukti sudah di tangan, Pak Hendri tak bisa lagi mengelak. Dengan wajah penuh penyesalan, ia akhirnya mengakui bahwa emas tersebut miliknya sendiri. Kecurangan ini dilakukan karena ia terjebak dalam janji manis kenalannya yang mengajaknya berinvestasi di bisnis kayu. Awalnya, investasi ini berjalan lancar dan sangat menjanjikan, memberikan keuntungan besar. Merasa bisnis ini sangat menguntungkan, Pak Hendri terus menambah investasinya, mempercayakan seluruhnya kepada temannya yang katanya ahli dalam mencari kayu di hutan.

Namun, keserakahan mulai mengambil alih keputusan-keputusannya. Untuk menambah investasi, dia membutuhkan dana lebih besar, dan di sinilah dia mulai menggunakan posisinya sebagai Kepala Cabang Pegadaian. Dengan keyakinan bahwa ia akan segera mendapatkan keuntungan besar, Pak Hendri berani memasukkan emas palsu sebagai jaminan untuk mendapatkan dana tambahan.

Sayangnya, janji untuk menjadi kaya dalam waktu singkat hanya berakhir dengan kehancuran. Teman yang dipercayainya membawa kabur uang investasi dan hilang tanpa jejak. Impian menjadi orang kaya di usia muda runtuh, dan yang tersisa hanyalah rasa malu dan karier yang hancur.

Kasus ini memaksaku untuk memperpanjang masa pemeriksaan di Palangkaraya, meskipun kerinduan untuk bertemu keluarga semakin menyesakkan hati. Sudah hampir dua minggu aku jauh dari rumah, dan pekerjaan ini terasa semakin berat. Namun, inilah suka duka menjadi auditor di Pegadaian. Di balik setiap pemeriksaan, selalu ada cerita tak terduga—dan kali ini, kisah kecurangan ini menjadi pelajaran berharga.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemeriksaan kas sekonyong konyong

Disaat masih menjadi pemeriksa muda di Inspektorat Wilayah Medan aku seperti biasa melakukan berbagai kunjungan pemeriksaan ke berbagai kantor cabang Pegadaian. Hari ini pemeriksaan di kantor cabang Pegadaian takengon selesai dilaksanakan, siang ini aku dan pak Sudrajat sebagai ketua team akan segera kembali ke Medan.  Ketua team ini orang sunda yang sangat baik dan seperti orang sunda lainnya, senang guyon, sehingga perjalanan jauh dari Medan ke Aceh yang ditempuh selama belasan jam ini tidak terasa membosankan. Tapi seperti orang sunda yang susah melafalkan beberapa huruf, begitu juga boss satu ini, salah satu yang paling aku ingat adalah kegagalannya mengucapkan kata “eksekutif”, beliau selalu mengucapkannya sebagai sekutip.   Karena sudah jadwalnya kembali ke Medan, Hati ini riang gembira serasa berteriak “hore.. hore, akhirnya tiba waktunya I’am coming home”. Tidak seperti sekarang dimana sewaktu waktu dapat video call dengan anak isteri, tahun 90-an ini kalau kangen sama keluarga

Arisan Emas Pegadaian.

Ingin berinvestasi emas ? kunjungi outlet outlet Pegadaian, sekarang investasi emas dapat dilakukan dengan berbagai cara, dapat dibeli secara tunai di outlet Galeri 24 Pegadaian, dapat juga dengan cara arisan.

NOKIA di tahun 2008

Harga Pasar Handphone Melihat Daftar Harga Pasar Setempat (HPS) handphone (HP) triwulan II tahun 2008 yang dipakai sebagai dasar bagi Penaksir Pegadaian menetapkan nilai  taksiran barang jaminan handphone di tahun 2008 ini menjadi flashback bagaimana sengitnya persaingan   dalam bisnis handphone .  Dari belasan merek HP yang beredar di pasaran Indonesia pada masa tersebut dan kemudian tercatat dalam daftar barang yang diterima sebagai barang jaminan pada masa itu, pada saat sekarang mungkin hanya hanya Samsung LG dan Motorolla yang masih terlihat  di display outlet penjual HP, selebihnya sudah tidak lagi dikenal oleh generasi sekarang. Merek yang pada masanya cukup inovatif dan laku seperti Sony Ericson atau Siemens pada masa sekarang sudah tidak ada lagi, hanya tinggal kenangan bagi gen X dan tidak dikenal oleh Gen Millenial. P ada tahun 2008 ini HP yang paling terkenal dan menjadi market leader tentu saja NOKIA, HP sejuta umat dan menjadi idola masyarakat. Model yang