Apa itu Lembaga Pembiayaan Export Indonesia ?
Sebelum masuk ke masalah korupsinya, sebaiknya kita mengenal dulu Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia atau Indonesia Exim Bank ini. Pasti banyak yang menyangka Perusahaan ini berada dibawah kementrian BUMN, nyatanya bukan. Tetapi Perusahaan ini berada dibawah Kementerian Keuangan. Seluruh sahamnya 100% milik pemerintah Republik Indonesia.
LPEI ini menggunakan merek dagang Indonesia Eximbank. Tetapi mereka juga bukan Bank, cukup aneh sebenarnya status perusahaan ini.
Apa misi perusahaan ini ? misi mulianya adalah untuk mendukung ekspor nasional, produknya dalam bentuk pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan advisory services.
“Namun, pada tahun 2024, LPEI menjadi sorotan akibat dugaan kasus korupsi. KPK mengungkap pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada 11 debitur yang berpotensi merugikan negara hingga Rp11,7 triliun. Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk dua direktur LPEI dan tiga pihak dari PT Petro Energy.”
Siapa Petro energy ini ?
PT Petro Energy adalah erusahaan yang bergerak di sektor energi dan merupakan bagian dari portofolio bisnis PT Caturkarsa Megatunggal. Perusahaan yang menjadi induk dari Petro Energy ini memiliki berbagai jenis usaha. Indrawan Masrin dan Jimmy Masrin merupakan pemilik saham mayoritas di Perusahaan ini.
Petro energy adalah salah satu Perusahaan milik caturkarsa ini. Perusahaan ini memproduksi biodiesel dan pengolahan Batubara. Terkait kasus korupsi Petro Energy ini, Jimmy Masrin ikut ditahan oleh KPK, karena dia adalah Komisaris Utama Petro Energy.
Bagaimana awalnya kasus ini diketahui KPK ?
Kasus korupsi di LPEI ini bermula dari laporan masyarakat mengenai adanya dugaan korupsi ke KPK pada bulan Mei 2023, namun anehnya KPK lama sekali terkesan membiarkan kasus ini tanpa ada tindak lanjutnya.
Karena tidak ada tindak lanjutnya , kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Agustus 2024 melaporkan kasus kredit macet di LPEI ini ke Kejaksaan Agung. Barulah kemudian terdengar KPK menindak lanjuti kasus ini.
Disitulah mulai diumumkan bahwa Terdapat 11 debitur bermasalah yang sedang dalam penyelidikan KPK , salah satunya adalah kredit macet di Petro Energy yang berpotensi menimbulkan kerugian senilai US$ 60 juta atau sekitar 1 triliun rupiah.
Kasus LPEI ini kemudian diserahkan oleh Kejaksaan Agung kepada KPK untuk ditindak lanjuti agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan.
Apa saja modus kecurangan ini ?
- Direksi LPEI diduga menyetujui pemberian kredit dengan mengabaikan analisa laporan keuangan. Pada saat dilakukan analisa atas laporan keuangan PE, analis kredit LPEI sudah menyimpulkan bahwa PE tidak memiliki kemampuan bayar. Analisa laporan keuangannya menyebutkan kalau hutang lancar PE lebih besar dari asset lancar-nya sehingga tidak layak untuk diberikan kredit. atau dipastikan akan terjadi kredit macet.
- Untuk memenuhi persyaratan administrasi pencairan kredit maka PE juga membuat kontrak dan purchase order palsu yang menjadi dasar untuk memenuhi persyaratan administrasi pencairan kredit. Dan hebatnya lagi dengan nilai kredit yang sangat besar ini, Direksi LPEI ternyata tidak pernah melakukan inspeksi atas agunan yang diberikan oleh PE.
- Sebagaimana dijelaskan di atas, pemberian kredit ke PE diberikan dalam tiga tahap, mulai tahun 2015 s.d 2017, dengan totalnya mencapai kurang lebih US$60 juta atau kalau dirupiahkan sekarang hampir mencapai Rp. 1 triliun.
- Setelah pemberian kredit pertama sebesar Rp.297 miliar masuk kategori macet , seharusnya tidak lagi dapat diberikan Top Up sebelum dilakukan evaluasi atas penyebabnya. Namun tanpa melakukan evaluasi, Direksi tetap memberikan persetujuan untuk pencairan kredit tahap kedua senilai Rp. 400 miliar.
- Pinjaman yang diberikan tersebut ternyata tidak dipergunakan sesuai perjanjian dalam akad kredit, yaitu untuk bisnis solar namun dipakai untuk investasi di bidang lain. Dalam perkembangannya, KPK malah menemukan indikasi kalau group PT Caturkarsa Megatunggal, pemilik PE ini juga mendapatkan kredit dari LPEI untuk perusahaannya yang lain.
Apa motivasi pelaku ?
Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh KPK, dapat disimpulkan jika motivasi utama dari pelaku adalah memperkaya diri sendiri.
KPK menjelaskan kalau sebelum persetujuan kredit ini terjadi, Direktur LPEI ini sudah mengadakan pertemuan dengan pihak PE dan setuju untuk memudahkan pencairan kredit ini. Dibalik kemudahan ini ternyata ada ongkosnya, ada unsur gratifikasi.
Untuk menyamarkan perbuatannya Direksi LPEi ini memberi istilah "Uang Zakat" untuk uang suap . menurut penjelasan Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo, Setiap debitur diminta memberi "Uang Zakat" sebesar 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang dicairkan. Artinya hanya dari PE saja, Direksi LPEI sudah bisa mendapatkan uang suap sekitar Rp. 50 miliar.
Ketua BAZNAS RI, Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA, berkomentar penggunaan diksi "Uang Zakat" sebagai kode dalam dugaan kasus korupsi di LPEI tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap ajaran agama Islam. Nah, barangkali selain tindak pidana korupsi, kepada pelaku korupsi LPEI bisa lagi terkena pasal penistaan agama.
Faktor lain yang menyebabkan lamanya kasus ini baru terungkap adalah kurang berfungsinya Governance, Risk and Compliance di lingkungan LPEI.
Salah satunya adalah masa jabatan Direktur Pelaksana I, Dwi Wahyudi yang sudah menjabat sejak tahun 2009 sampai dengan terungkapnya kasus pada Maret 2024, artinya dia sudah menjabat selama 15 tahun. Mengherankan ada jabatan Direksi yang tidak diganti selama itu.
Penyimpangan yang terjadi sangat massif dalam periode yang sangat lama. Kasus PE ini sudah sejak 2015, masuk macet di tahun 2017, tetapi baru dilaporkan pada bulan Mei 2023 ke KPK.
Kasus ini hanya salah satu dari 11 kasus LPEI yang sedang ditangani oleh KPK. Hebatnya lagi kasus ini sempat juga ditangani oleh Kejaksaan Agung sebelum diserahkan ke KPK. Namun Kasus lainnya terkait LPEI ini juga sedang ditangani oleh Tipikor Polri dengan nilai kerugian mencapai Rp. 710 miliar.
Sebagai Perusahaan yang menggunakan APBN tentu seharusnya pada periode tersebut sudah ada beberapa kali pemeriksaan oleh BPK atau BPKP, tapi sepertinya kasus ini juga tidak terungkap.
Demikian juga dengan pengawasan dari Dewan Pengawas dan perangkat komite auditnya kurang efektif menjalankan fungsinya untuk mencegah terjadinya kasus korupsi tersebut.

Komentar
Posting Komentar