PT Nyonya Meneer, pionir jamu tradisional yang berdiri sejak 1919 dan sempat menjadi jamu paling terkenal di Indonesia, bahkan menembus pasar ekspor, akhirnya mengalami nasib pahit dan resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang pada 4 Agustus 2017. Mengakhiri perjalanannya yang telah berjalan hampir satu abad.
Salah satu akar kebangkrutan adalah regenerasi kepemimpinan yang gagal. Setelah meninggalnya pendiri Lauw Ping Nio pada 1978 dan putranya Hans Ramana pada 1976, kendali dialihkan ke generasi ketiga—lima cucu.
Namun, proses transisi ini disertai sengketa internal yang panjang antara mereka. Konflik keluarga ini tidak hanya melelahkan secara emosional, tetapi juga mengganggu kelangsungan operasional sehari-hari: manajemen jadi terpecah, keputusan strategis melamban, dan fokus bisnis melemah.
Selain konflik, generasi penerus juga kurang inovatif dan adaptif. Lemahnya inovasi ini memperburuk posisi keuangan mereka, sehingga ketika utang menumpuk hingga Rp252 miliar—perusahaan tidak punya bantalan untuk bernafas .
Dari kasus ini dapat diambil pelajaran: perusahaan keluarga perlu persiapan suksesi yang matang, alur kepemimpinan yang jelas, dan keberanian untuk menempatkan figur kompeten (keluarga atau profesional). Tanpa itu, regenerasi bisa berubah menjadi jurang kehancuran—seperti yang menimpa Nyonya Meneer.
Komentar
Posting Komentar